15 Februari 2011

Landasan Evaluasi Kurikulum

Landasan Evaluasi Kurikulum
Lessinger (1973:3) berpendapat bahwa konsep akuntabilitas mendasarkan dirinya pada tiga landasan yang menggambarkan produk, proses yang berkenaan dengan dana dan kaitan antara dana yang digunakan dengan hasil belajar. Rossi dan Freeman (1985:95) mengemukakan enam jenis akuntabilitas, yaitu :
       Akuntabilitas Dampak (Impact Accountability)
       Akuntabilitas Efisien (Efficiency Accountability)
       Akuntabilitas Lingkup (Coverage Accountability)
       Akuntabilitas Pemberian jasa (Service Delivery Accountability)
       Akuntabilitas Keuangan (Financial Accountability)
       Akuntabilitas Hukum (Legal Accountability)

Pendapat Scriven (1991) tentang akuntabilitas yaitu bahwa akuntabilitas selalu berhubungan dengan hasil, akuntabilitas memberikan dasar pem,benaran bagi dana yang telah dikeluarkan berdasarkan hasil yang dicapai dan waktu yang digunakan.
McDavid dan Hawthorn (2006:435) berpendapat mengenai akuntabilitas yaitu bahwa pertanggung jawaban itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki wewenang formal seperti orang yang mengembangkan kurikulum, kepala sekolah, guru dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat Rossi dan Freeman (1985), scriven (1991), dan McDavid dan Hawthorn (2006) maka dalam buku ini dikemukakan 4 jenis – jenis akuntabilitas, sebagai dasar Landasan Evaluasi Kurikulum, yaitu :


a. Akuntabilitas legal (legal accountability)
Akuntabilitas legal mengandung arti bahwa kegiatan pengembangan kurikulum tersebut haruslah merupakan kegiatan yang sah secara hukum baik ketika proses konstruksi kurikulum, implementasi kurikulum dan evaluasi kurikulum. Setiap kegiatan yang terjadi tidak terjadi tidak boleh melanggar issu, seperti masalah agama, budaya, sosial, ekonomi, jenis kelamin (gender) ketuaan dan sebagainya.
Evaluasi kurikulum memiliki landasan legal yang lebih kuat sejak diberlakukannya Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 55 dan 56 Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 menetapkan bahwa setiap unit pendidikan harus dievaluasi secara eksternal oleh lembaga internal. Pasal – pasal itu menunjukkan bahwa suatu usaha pendidikan dan dalam hal ini KTSP haruslah terbuka untuk dievaluasi oleh suatu lembaga yang mandiri. Lembaga mandiri ini mungkin dibentuk oleh pemerintah pusat, lembaga masyarakyat, atau organisasi yang tidak terlibat dalam proses pengembangan kurikulum.

b. Akuntabilitas Akademik
Akuntabilitas akademik berkaitan dengan filsofi, teori, prinsip dan prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum. Artinya Akuntabilitas akademik adalah akuntabilitas yang tidak saja terkait dengan kepentingan publik tetapi juga dengan kelompok komunitas pengembangan kurikulum. Dengan demikian akan memberikan peluang terhadap substansi dari filosofi tersebut dapat dikaji dan dapat dibahas dalam banyak buku. Sebagai contoh :
apabila filosofi itu baru, maka akuntabilitas akademik adalah akuntabilitas yang tidak saja terkait dengan kepentingan publik tetapi juga terhadap kelompok pengembang kurikulum. Secara garis besar proses pengembangan kurikulum terdiri atas 3 kegiatan yaitu :

Akuntabilitas akademik harus ditegakkan oleh para pengembang akademik selama proses konstruksi ( pengembangan standar isi dan standar kompetensi) , proses implementasi (penerapan dan pelaksanaan di lapangan), dan proses evaluasi (penilaian kegiatan). Dalam setiap kegiatan ini, para pengembang harus dapat mempertangungjawabkan secara akademik terkait masalah filosofi dan teoritik yang digunakan, prinsip dan prosedur yang ditempuh. Pertanggungjawaban tersebut dilakukan berdasarkan persyaratan yang dikenal dan diakui oleh dunia akademik, pengembang kurikulum dan para evaluator. Pada umumnya persyaratan semacam ini tercantum dalam buku – buku akademik dan laporan perkembangan kurikulum. Para pengembang kurikulum dapat melakukan evaluasi secara internal oleh sejumlah pengembang kurikulum yang terlibat dalam proses pengembangan atau dapat pula meminta jasa sejumlah evaluator untuk melakukan evaluasi secara eksternal.

c. Akuntabilitas Finansial
Akuntabilitas finansial dianggap sebagai cikal bakal lahirnya konsep akuntabilitas. Secara mendasar akuntabilitas finansial berkenaan dengan pertanggungjawaban keuangan yang diperoleh untuk pengembangan suatu kurikulum. Dalam pertanggungjawaban ini, maka setiap rupiah yang diterima harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prosedur (pertanggungjawaban berkenaan dengan cara uang itu digunakan) yang berlaku, jumlah uang untuk suatu aktifitas dan efisiensi penggunaan uang.
Pertanggungjawaban semacam ini harus dipahami oleh pengembang – pengembang kurikulum terutama mereka yang secara khusus bertanggungjawab mengenai masalah keuangan. Tetapi lain halnya dengan evaluasi kurikulum, akuntabilitas yang berkenaan dengan prosedur dan jumlah uang dalam kaitannya dengan kegiatan tidak menjadi kepedulian mereka melainkan fokus pada masalah efisiensi pemanfaatan dana.
Pertanggung jawaban berdasarkan prosedur adalah : pertanggung jawaban yang berkenaan dengan peraturan perturan yang harus dipahami oleh pengembang kurikulum terutama mereka yang secara khusus bertanggung jawab mengenai masalah keuangan.
Pertanggung jawaban mengenai jumlah uang adalah : pertanggung jawaban mengenai berapa besar uang yang diterima, besarnya uang yang dibelanjakan untuk suatu kegiatan, suatu barang atau honor.
Efisiensi penggunaan uang adalah : berkenaan dengan permasalahan apakah uang yang dibelanjakan memberikan hasil yang sebesar besarnya.

Dalam konteks pengembangan kurikulum diindonesia , evaluasi kurikulum tidak mungkin melepaskan diri dari akuntabilitas financial hal ini disebabkan karena kondisi umum keuangan Negara dan kondisi masyarakat yang menyebabkan adanya keharusan mendesak.  Pemanfaatan dana yang diperoleh dari pemerintah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum harus bisa dipertanggung jawabkan, jika tidak dapat dipertanggung jawabkan atas dasar efisiensi akan menjadi suatu musibah nasional. Yaitu pendidikan di Indonesia  dan terutama kurikulum yang merupakan jantung dari proses pendidikan tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Kemampuan kognitip, sikap, kepribadian, ketrampilan peserta didik tidak mencerminkan karakter tamatan yang diperlukan.

d. Akuntabilitas Pemberian Jasa.
Akuntabilitas pelayanan (pemberian jasa) meliputi pemberian jasa pendidikan kepada kepada kelompok masyarakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan tersebut. Akuntabilitas terhadap apa dan sejauh mana pelayanan yang sudah diberikan terhadap masyarakyat, dimensi akuntabilitas pemberian jasa mempertanyakan mengenai apakah kurikulum dalam proses implementasi terlaksana dengan sebaik - baiknya. Fungsi pelayanan pendidikan pemerintah dan masyarakyat terhadap generasi muda adalah suatu kewajiban moral dan konstitusional. Dilihat dari kewajiban moral maka pemerintah dan masyarakyat secara moral bertanggung jawab dalam memprsiapkan generasi muda untuk mengembangkan kehidupan pribadinyan dan mengemban tugas sebagai anggota masyarakyat. Beberapa pertanyaan utama evaluasi kurikulum adalah :
•       Apakah guru telah memberikan pelayanan yang sebaik – baiknya?
•       Apakah fasilitas dan kondisi serta suasana kerja mendukung guru untuk memberikan pelayanan yang sebaik – baiknya?
•       Apakah lingkungan kerja mendukung pemberian jasa pelayanan maksimal dari guru tercipta?
Apakah insentif yang tersedia mampu mendukung pemberian jasa pelayanan maksimal dari guru? Dan sebagainya.

Tidak ada komentar: